SNMPTN dan Persaingan PTN Perguruan Tinggi
Tepat tanggal 16-17 Juni 2010 lalu Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.
Seleksi yang menentukan nasib calon mahasiswa baru ini sudah menjadi tradisi tahunan. Lebih dari 400.000 ribu calon mahasiswa baru memperebutkan sekitar 80.000 kursi di 54 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Akibatnya, dapat dipastikan akan banyak diantara mereka yang tersisih, tidak dapat melanjutkan kuliah pada tahun ini, atau terpaksa mengambil pilihan alternatif di kampus-kampus yang menyelenggarakan ujian masuk belakangan.
Yang menarik, beberapa tahun terakhir SNMPTN bukanlah satu-satunya ujian masuk PTN. Beberapa PTN menyelenggarakan ujian masuk mandiri dengan dalih ingin meningkatkan input kualitas mahasiswa. Beberapa PTN, terutama PTN unggulan, menganggap SMPTN tidak memenuhi harapan dan cita-cita mereka menuju world class university. Ujian masuk yang diselenggarakan mandiri itu sebenarnya mengadopsi sistem penerimaan mahasiswa di kampus-kampus ternama di Amerika dan Eropa. Dengan asumsi tingkat pemerataan pendidikan yang lebih baik, wajar jika kompetisi dalam sistem seperti itu bertujuan menjaring mahasiswa-mahasiswa dengan kualitas terbaik. Sedangkan kasus di Indonesia sangat berbeda. Penerapan ujian masuk mandiri di beberapa PTN tak urung membuat alokasi kursi masuk yang diperuntukkan bagi mereka yang lulus melalui SNMPTN semakin kecil. Tentu ini menimbulkan persoalan mengingat proporsi pelaksanaan SNMPTN paling representatif secara nasional dibandingkan ujian masuk mandiri. Ujian masuk mandiri biasanya dilaksanakan secara terpusat di kampus penyelenggara. Calon mahasiswa yang berada di daerah-daerah yang tak terjangkau ujian masuk mandiri termasuk kelompok yang paling dirugikan.
Alasan sebenarnya dari penyelenggaraan ujian masuk mandiri adalah tawaran mendapat sumber dana yang lebih besar. Bukan rahasia lagi kalau banyak PTN mengalami kendala finansial. Dana operasional yang diberikan pemerintah tidak pernah cukup menutupi kebutuhan operasional PTN. Melalui penyelenggaraan ujian masuk, PTN mendapat dana segar dengan kebebasan menentukan uang pendaftaran dan dana pembangunan yang dibebankan kepada setiap calon mahasiswa.
Sejumlah PTN pun berkilah sistem SNMPTN terpusat dianggap tidak saja merugikan dalam hal input kualitas mahasiswa – karena kualitas ujian yang dianggap rendah (yang tentu sangat debatable) – tetapi juga merugikan kampus secara finansial karena kongsi pembayaran dilakukan terpusat. Perguruan tinggi unggulan merasa dirugikan dua kali. Dengan demikian, pelan-pelan SNMPTN akan ditinggalkan. Hal ini kontras dengan semangat pemerintah mengevaluasi pelaksanaan pendidikan dasar melalui Ujian Nasional.
Alasan lain yang dikemukakan, ujian masuk mandiri akan membuat kualitas PTN menjadi lebih kompetitif. Mereka bebas menentukan waktu ujian dan tingkat kesulitan soal-soal yang diujikan. Padahal pada saat bersamaan, cara itu “membunuh” PTN lain yang tidak dapat menyelenggarakan ujian mandiri. Mereka hanya akan mendapat mahasiswa “kelas dua” karena kebanyakan dari calon mahasiswa unggulan tersedot habis setelah mengikuti ujian mandiri yang biasanya diselenggarakan sebelum SNMPTN dimulai.
Akar Persoalan
Justifikasi penyelenggaraan ujian mandiri sebenarnya dimulai ketika terjadi perubahan status perguruan tinggi melalui PP 152, 153, 154, dan 155 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) sejak tahun 2000. Lima PTN yang berubah status menjadi PT BHMN ketika itu adalah UI, UGM, ITB, dan IPB. Belakangan menyusul USU, UPI, dan UNAIR. PT BHMN mensyaratkan penyelenggaraan otonomi keuangan dan tata kelola yang dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Kalau dilihat sejarah awal ujian masuk mandiri sebenarnya muncul tidak lama setelah PP tentang PT BHMN ditetapkan. Nama dan bentuk penyelenggaraannya bermacam-macam. Mulai dari Seleksi Masuk Universitas Indonesia (SIMAK UI), Ujian Masuk UGM (UM UGM), Seleksi Masuk Universitas Padjajaran (SMUP), yang semuanya itu mengalokasikan jatah lebih dari 60% kursi mahasiswa. Proporsi kursi untuk mereka yang lulus SNMPTN tidak lebih dari 20% saja. Mereka yang ngotot ingin masuk PTN unggulan akan berpikir dua kali jika mencoba masuk melalui jalur SNMPTN.
Dan yang paling mengerikan dari sistem seperti ini adalah ketika melihat jumlah biaya yang harus dibayarkan calon mahasiswa kepada universitas. Sebelum ujian dimulai, beberapa PTN mengajukan formulir kesanggupan bayar yang harus diisi oleh calon mahasiswa. Angkanya fantastis. Semakin besar kesanggupan bayar si calon mahasiswa, maka kemungkinan diterima di PTN tersebut akan semakin besar. Bahkan di fakultas kedokteran salah satu PTN misalnya, minimal pembayaran sebesar 175 juta rupiah. Bagaimana mungkin dana sebesar itu sanggung dibayar oleh mereka yang tidak mampu? PTN benar-benar telah berubah menjadi ajang bisnis. Sangat Mengerikan. Perguruan tinggi tidak lagi menawarkan jasa, tetapi memperdagangkan pendidikan sebagai barang ekonomi yang bisa mereka perjual-belikan kepada yang membayar paling mahal.
Debat substansial tentang isu ini lagi-lagi berujung pada sejauh mana kontribusi negara dalam pendidikan, terutama pendidikan tinggi, karena penyelenggaraan ujian masuk mandiri adalah sah dan tak terhindarkan mengingat kebutuhan self financing yang menjadi tuntutan PTN. Logika PTN berjalan sesuai dengan payung hukum yang membawahinya. Tetapi, pelan-pelan sistem ini akan merusak persaingan antaruniversitas dan membuat SNMPTN semakin tidak populer. Penerapan sistem yang tidak ideal akan membuat setiap PTN berlomba-lomba melaksanakan ujian masuk mandiri di tahun-tahun mendatang.
0 komentar:
Posting Komentar